Senin, 07 Mei 2018

gas alam

Arun Natural Gas Liquefaction

PT Arun Natural Gas Liquefaction, lebih dikenal dengan PT Arun NGL, adalah perusahaan penghasil gas alam cair Indonesia. Pada tahun 1990-an, kilang Arun merupakan salah satu perusahaan penghasil LNG terbesar di dunia.[2] PT Arun merupakan anak perusahaan Pertamina. Berlokasi di LhokseumaweAceh Utara, perusahaan ini memiliki 6 unit pengolahan, namun saat ini hanya 2 unit yang beroperasi dikarenakan menipisnya cadangan gas alam di sana. PT Arun merupakan salah satu penyumbang devisa terbesar bagi kota Lhokseumawe dan Indonesia.

Sejak 1968Mobil Oil melakukan kontrak bagi hasil dengan Pertamina untuk pencarian sumber-sumber minyak dari perut Bumi di darat maupun di lepas pantai. Tahun 1969, Mobil Oil mulai mengerahkan pencariannya di Aceh dengan fokus utama di Aceh Utara. Pengeboran yang dilakukan di dekat desa Arun adalah yang kelima belas kali dilakukan oleh Mobil Oil. Sejak pencarian pertama di lokasi yang berindikasi sumber energi sampai titik pengeboran keempat belas di ladang baru yang tidak dikenal sebelumnya, perusahaan tersebut telah menemukan minyak dan gas dengan kandungan karbon dioksida yang terlalu tinggi sehingga sulit dikembangkan.
Perusahaan minyak Standard Oil Company of New York yang pernah beroperasi di Sumatera telah mendeteksi bahwa di Aceh terdapat kandungan gas yang besar jumlahnya. Atas dasar itu, pencarian oleh Mobil Oil yang dikoordinasi Pertamina Unit I dikonsentrasikan di desa Arun. Desa Arun adalah desa di Kecamatan Syamtalira, Aceh Utara, yang namanya kelak digunakan sebagai nama perusahaan gas alam ini.
Tanggal 24 Oktober 1971, gas alam yang terkandung di bawah ladang gas Arun ditemukan dengan perkiraan cadangan mencapai 17,1 trilyun kaki kubik. Hari itu merupakan hari ke-73 sejak uji eksplorasi yang dipimpin Bob Graves, pimpinan eksplorasi Mobil Oil di Aceh, dimulai.
Pada tahun 1972 ditemukan sumber gas alam lepas pantai di ladang North Sumatra Offshore (NSO) yang terletak di Selat Malaka pada jarak sekitar 107,6 km dari kilang PT Arun di Blang Lancang. Selanjutnya pada tahun 1998 dilakukan pembangunan proyek NSO “A” yang diliputi unit pengolahan gas untuk fasilitas lepas pantai (offshore) dan di PT Arun. Fasilitas ini dibangun untuk mengolah 450 MMSCFD gas alam dari lepas pantai sebagai tambahan bahan baku gas alam dari ladang arun di Lhoksukon yang semakin berkurang.
Tanggal 16 Maret 1974, PT Arun didirikan sebagai perusahaan operator. Perusahaan ini baru diresmikan oleh Presiden Soeharto pada tanggal 19 September 1978 setelah berhasil mengekspor kondensat pertama ke Jepang (14 Oktober 1977).
Pembangunan 6 unit pengolahan (train) pencairan gas alam di kilang LNG Arun melalui beberapa tahapan, yaitu:
  • Train 1,2 dan 3 (Arun Project 1) dibangun pada awal tahun 1974 dan selesai pada akhir tahun 1978 oleh Bechtel Inc.
  • Train 4 dan 5 (Arun Project II) dibangun Februari 1982 dan selesai pada akhir tahun 1983 yang dikerjakan oleh Chiyoda
  • Train 6 (Arun Project III) dibangun pada bulan November 1984 dan selesai pada September 1986 yang dikerjakan oleh Japan Gas Corporation (JGC)
Pada Februari 1987, kilang LPG yang dinamakan Arun LPG Project dibangun dan dikerjakan oleh Japan Gas Corporation (JGC). Kilang ini selesai pada tahun 1989.

Produksi Padi di Aceh Meningkat

Banda Aceh – Produksi pertanian khususnya padi di Aceh setiap tahunnya terus mengalami peningkatan. Hal ini disampaikan Kepala Dinas Pertanian dan Perkebunan Aceh, Hasanuddin Darjo melalui Kabid Tanaman Pangan Mukhlis SP, MA.
Peningkatan produksi tersebut sejak tahun 2013, yaitu mencapai 1,7 juta ton, 2014 mengalami peningkatan menjadi 1,8 juta ton, sementara 2015 mencapai 2,3 juta ton dan pada tahun 2016 mengalami sedikit penurunan yaitu 2,2 juta ton.
“Dengan luas tanam 397.887 pada tahun 2013, 439.533 tahun 2014, 461.883 tahun 2015 dan 447.718 pada tahun 2016,” kata Mukhlis kepada acehTRend pada saat ditemui di kantornya, Selasa, (09/01/2017).Bila dilihat dari kontribusi masing-masing kabupaten/kota, sumbangan terbesar untuk luas panen pada tahun 2015 berasal dari Kabupaten Aceh Utara yaitu sebesar 70.781 hektar (14,94 persen) kemudian diikuti Kabupaten Aceh Timur sebesar 50.478 hektar ( 8,61 persen).
Ia menambahkan dari 23 kabupaten/kota di Provinsi Aceh pada tahun 2015, produksi padi terbesar disumbang oleh Kabupaten Aceh Utara yaitu sebesar 348.225 ton atau sekitar 14,94 persen dari total produksi padi di Provinsi Aceh.
Kontribusi terbesar kedua dan ketiga diperoleh dari Kabupaten Bireuen dan Kabupaten Pidie, masing-masing sebanyak 259.981 ton (11,15 persen) dan 238.880 ton (10,25 persen).
Ketiga kabupaten penghasil padi terbesar di Provinsi Aceh tersebut secara topografi berada di wilayah pantai timur yang berupa dataran rendah hingga pesisir pantai. Kabupaten/Kota dengan produksi padi paling kecil di Provinsi Aceh adalah di Kota Banda Aceh sebesar 507 ton (0,02 persen) dan Kota Subulussalam sebesar 6.072 ton (0,26 persen).Hasil gambar untuk gambar padiHasil gambar untuk gambar padi

Kopi Gayo dan Cita Rasa yang Tak Konsisten

Kopi Gayo memiliki ciri khas rasa yang tidak konsisten.AKENGON, KOMPAS.com - Indonesia memiliki banyak jenis kopi yang tersebar di seluruh daerah. Kopi di setiap daerah memiliki rasa khas. Salah satunya kopi Gayo yang berasal dari Aceh. Kopi Gayo, selain terkenal di negeri sendiri, juga dikenal oleh penikmat kopi di luar negeri, terutama di Uni Eropa. Di Aceh sendiri, kopi Gayo sebagian besar ditanam di dataran tinggi. Terdapat tiga daerah yang menjadi pusat kopi Gayo, yakni Kabupaten Aceh Tengah, Bener Meriah dan Gayo Lues. Tiga daerah itu memiliki 60 varietas dan cultivated variety kopi Gayo. Namun dari banyak varietas itu, dua di antaranya diambil untuk dikembangkan, yakni varietas Gayo 1 dan Gayo 2. Pengembangan dua varietas ini merupakan saran dari Kementerian Pertanian karena keduanya dianggap memiliki kualitas baik. "Dua varietas merupakan varietas anjuran dari Kementerian Pertanian yang telah teruji dari kualitas dan produktivitasnya," kata Iwan Juni, seorang pemehati kopi asal Aceh.

Emas di Sungai Mas Aceh

MEULABOH, KOMPAS.com — Kabupaten Aceh Barat, yang dikenal dengan sebutan Bumi Teuku Umar, sungguh memiliki potensi sumber daya alam yang berlimpah. Salah satunya adalah bijih emas yang terdapat di sepanjang aliran Sungai Mas Desa Tutut, Kecamatan Sungai Mas. Warga yang bermukim di pedalaman Kabupaten Aceh Barat itu didominasi perempuan. Mereka menggantungkan mata pencarian dengan mendulang emas secara tradisional dan ramah lingkungan. Hal itu sudah turun-temurun dilakukan sejak puluhan tahun lalu. "Mendulang emas sudah menjadi sumber penghasilan warga di sini, khususnya perempuan, karena mendulang dianggap pekerjaan yang mudah dan ringan dilakukan oleh perempuan di sini," kata Saudah (42), Minggu (7/6/2015) lalu. Menurut Saudah, kegiatan ini menjadi salah satu sumber pendapatan alternatif bagi warga. "Dominannya yang mendulang emas di sini perempuan. Laki-laki ada juga, tetapi mereka lebih banyak yang bertanggung jawab mengurusi sawah dan ladang," kata Saudah. Meski mendulang emas sudah dianggap pekerjaan yang mudah dilakukan oleh perempuan-perempuan ini, hasil yang mereka dapatkan tidak menentu. Bahkan, terkadang tidak sebanding dengan usaha keras sejak pagi hari hingga petang merendam diri di air di bawah terik matahari. Pun demikian, mereka terlihat lihai dan sabar mengais bijih emas di antara butiran batu dan kerikil. "Hasilnya tidak tentu, kadang satu hari kami dapat tidak sampai Rp 50.000. Kalau lagi ada rezeki saat air sungai berkurang, ada juga sampai Rp 100.000 satu hari," kata Maknong (45), saat tengah mengais bijih besi bersama sejumlah perempuan lain di Sungai Mas. Bijih emas yang didapat langsung bisa dijual kepada penampung atau toko emas di pasar dengan harga satu mili Rp 40.000 atau 1 gram Rp 400.000. Namun, biasanya para perempuan pendulang emas itu mengumpulkan dulu bijih emas hingga beberapa pekan sebelum menjualnya.

Tambang Batu Bara Terpadu Pertama di Aceh

Meulaboh-TAMBANG. Provinsi Nangroe Aceh Darusallam (NAD) akhirnya memiliki tambang batu bara terpadu pertama yang beroperasi. Hal itu terjadi setelah Gubernur NAD, Zaini Abdullah meresmikan operasional terpadu tambang batubara PT Mifa Bersaudara (Mifa) di Aceh Barat, Aceh pada Rabu, (22/4).

Zaini mengatakan, peresmian industri batu bara terintegrasi milik PT Mifa Bersaudara menunjukkan ke dunia luar bahwa Aceh memiliki potensi sumber daya alam batu bara yang selama ini belum diketahui oleh banyak pihak.

Selain itu, peresmian tersebut juga membuktikan bahwa Aceh adalah tempat yang layak, aman dan nyaman bagi investasi dan Aceh akan mendukung segala bentuk investasi positif yang menguntungkan bagi masyarakat, daerah dan juga pengusaha.

“Investasi Mifa yang nilainya di atas Rp 2 Triliun lebih membuktikan pada semua pihak, Aceh adalah tempat yang layak dan nyaman untuk investasi di berbagai sektor. Pemerintah serta masyarakat Aceh akan mendukung kelancaran operasional perusahaan,” kata Zaini.

Ditambahkan Zaini, pada 2014, investasi yang masuk ke Aceh sudah mencapai Rp 62,3 Triliun. Dalam jangka panjang, Pemprov  ingin sumber daya Aceh lebih digunakan untuk kepentingan Aceh dan dalam negeri. Zaini meminta PLN untuk menggunakan batu bara Aceh dalam operasional PLTU Nagan milik PLN.

PT Mifa Bersaudara merupakan perusahaan tambang pertama yang berproduksi di Aceh Barat dan industri batubara pertama di Aceh. Mifa sudah memulai produksinya sejak Oktober 2012 lalu dengan mengirimkan batubaranya ke Aceh Besar melalui laut. Mifa yang merupakan anak perusahaan Media Djaya Bersama (MDB) dan bagian dari Grup Reswara Minergi Hartama di bawah payung PT ABM Investama Tbk telah menyelesaikan pembangungan infrastruktur operasional tambang terpadu dan telah memasuki fase komersialisasi sejak awal 2015 lalu.

Mifa memerkenalkan batu bara Aceh ke dunia internasional ditandai dengan telah dimulainya ekspor batu bara Aceh ke India melalui pelabuhan khusus yang dikenal dengan Terminal Khusus (Tersus) Batubara Mifa Bersaudara di Peunaga Cut Ujong, Meurebo, Aceh Barat. Tahun ini Mifa memiliki target produksi hingga 3 juta ton batu bara.

Hasil gambar untuk gambar batu bara di aceh